[Cerpen] Membangun Mimpi
oleh : http://galeripunyakita.blogspot.com

Firda sang jawara bulutangkis. Begitulah teman-teman firda memanggil dirinya. Biarpun bukan seorang atlet, tapi dia merasa bangga jika teman-teman nya memanggil dia dengan julukan tersebut. Entah mengapa Firda sang juara kelas itu,sangat mencintai olahraga yang satu ini. Memang dia bilang bulutangkis itu unik, tidak seperti olahraga-olahraga lainnya yang biasa menggunakan bola bundar. Tapi teman-temannya mengenal betul bahwa Firda adalah Badminton Lovers sejati. “Fir, setelah lulus SMA nanti, kamu akan melanjutkan kemana?”. Tanya Rovita teman dekatnya. “Entahlah, sejujurnya aku ingin menjadi atlet. Ingin sekali aku bersekolah di sekolah bulutangkis, tapi sepertinya ibuku tidak akan menyetujui hal itu karena ia menginginkan aku untuk menjadi dokter”. Jawab dia lemas. “Uh dasar…sang jawara bulutangkis, segala-galanya pasti bulutangkis lagi bulutangkis lagi”. Ungkap Rovita. Seolah teman dekatnya pun merasa heran, mengapa dia lebih memilih untuk menjadi atlet dibanding menjadi seorang dokter yang menjadi dambaan setiap orang. Bahkan Firda mengatakan bahwa dia akan merasa lebih bangga jika kelak dirinya benar-benar menjadi atlet daripada menjadi dokter. Sungguh teman-temannya dibuat heran atas pernyataan tersebut karena mereka tidak pernah menyangka dia bisa berfikir seperi itu. Tapi ya sudahlah, Firda memang orang yang agak keras namun teman-temannya tetap mendukung apa yang akan dipilih olehnya nanti, yang penting pilihannya itu adalah pilihan yang terbaik. Ada cerita yang unik dari sang jawara bulutangkis ini, hari itu sedang berlangsung ajang kejuaraan Djarum Indonesia Open di Jakarta. Namun sayang, Firda hanya bisa menonton idolanya, Taufik Hidayat lewat televisi. Tapi tak apa lah, dia masih merasa beruntung karena ajang super series di Indonesia ini, tetap bisa dia saksikan. Acara siarannya ditayangkan pukul 13.00 WIB. Kebetulan Firda masih berada di Sekolah Karena jam pulang sekolahnya pukul 13.00. Betapa cemasnya Firda saat jam ditangannnya menunjukan pukul 12.55. Tepatnya lima menit lagi acara yang ditunggu-tunggunya akan segera dimulai. Pada saat itu,Pak Kuncoro sedang menjelaskan soal matematika yang menurut Firda sebenarnya soal tersebut tidaklah sulit. Didalam hatinya dia merasa kesal karena tidak sabar ingin segera pulang dan berharap bel jam terakhir segera berkumandang. Apalagi dia merasa yakin akan ketinggalan menyaksikan pertandingan di partai pertama antara ganda campuran Indonesia Nova Widianto/Liliana Natsir ,melawan pemain asal Korea Selatan, Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung, yang sudah diprediksikan olehnya bahwa pertarungan antara dua ganda yang memiliki prestasi gemilang di BWF itu akan berlangsung seru dan ketat karena keduanya sama-sama memiliki kemampuan yang kuat. Kira-kira sepuluh menit lagi waktu Firda untuk mengakhiri pelajaran Pak Kuncoro itu. Dia sudah semakin tidak tenang ditambah perjalanan dari sekolah menuju rumahnya cukup lama, memerlukan waktu sekitar 30 menit! itu pun kalau jalan tidak macet. Sungguh keadaan ini paling tidak dia senangi. Dan akhirnya berakhir sudah kekesalan Firda, jam terakhir telah usai kini saatnya Firda bergegas untuk segera sampai ke Rumah. Semua ajakan dari teman-temannya untuk bekerja kelompok dia tolak dengan alasan tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyaksikan atlet-atlet Indonesia berlaga di arena karpet hijau. Apalagi ajang-ajang seperti ini termasuk momen langka karena ajang bulutangkis jarang disiarkan di TV Indonesia namun berhubung kejuaraan kali ini diselenggarakan di Jakarta sehingga televisi swasta ada yang berbaik hati untuk menghilangkan rasa rindu para pecinta bulutangkis di Indonesia termasuk Firda yang selalu histeris tiap kali mendengar berita seputar olahraga yang sangat dicintainya itu. Sudah setengah perjalanan menuju rumah. Jam menunjukan pukul 13.45. kira-kira sudah telat 45 menit untuk menyaksikan kejuaraan Djarum Indonesia Open. Sudah tak sabar Firda ingin segera menontonnya, mungkin dia pikir partai pertama sudah selesai dipertandingkan. “Ya sudahlah, ku relakan saja tidak menyaksikan Kak Butet ( sapaan Liliana Natsir ). Yang penting aku tidak boleh melewatkan pertandingan selanjutnya”. Ungkap Firda menggerutu dalam hati. Setelah berada di dalam angkot selama setengah jam yang cukup membosankan baginya, akhirnya sampai juga dia di jalan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Dia mencoba untuk berlari sekencang-kencangnya. Bahkan ada tetangga yang bertanya pun dia hiraukan, bukan karena Firda tidak peduli atau tidak sopan, namun begitulah seorang Firda jikalau sedang kesal. “Kenapa Fir? lari-lari seperti itu memangnya dikejar apa?”. Tanya salah seorang tetangganya dengan penasaran. “Oh, tidak…hanya sedang terburu-buru saja”. Jelasnya sambil berlari melanjutkan perjalanan. Tetangganya pun seolah merasa heran apa yang sedang terjadi pada anak yang satu ini, tidak seperti biasanya dia berlaku seperti ini. Firda dikenal sebagai anak yang ramah di Komplek sekitar tempat dia tinggal. Setibanya di Rumah, tanpa membuang-buang waktu Firda segera mengambil remote TV nya diatas meja dan menekan tombol nomor 3. Tepatnya di channel no 3 itulah dia akan menghilangkan rasa kecewa sekaligus kesalnya karena telat menonton siaran tersebut. Begitu televisi hidup, wajah Firda yang murung kembali ceria saat melihat Taufik Hidayat, sang idola berlaga pada babak pertama. “Syukurlah, pertandingan kedua baru saja dimulai”. Ucapnya dalam hati. Akhirnya dia bisa merasa lega biarpun masaih ada segudang kekecewaan yang tertimbun didalam hatinya. Pada saat itu, kedudukan 19-17 atas Taufik Hidayat yang unggul dua angka dari Lee Chong Wei rivalnya dari Malaysia. Biarpun mereka berdua bersaing di dalam lapangan namun keduanya berteman akrab di luar itu. Sungguh itulah yang membuat Firda kagum akan sosok Taufik Hidayat. “Ayolah…tinggal dua poin lagi kamu menang Indonesiaku’. Ungkap Firda bermaksud menyemangati sang idola. “Tuntaskan saja pertandingan ini”. Jelasnya lagi. Firda merasa bahwa dirinya benar-benar terhipnotis oleh bulutangkis. Entah bagaimana awalnya dia bisa seperti itu, yang pasti semua kelurganya pun sangat menyukai olahraga ini. Biasanya tiap kali ada tayangan bulutangkis di TV, dia selalu menyaksikan bersama-sama kelurga namun sayang saat itu, keluarganya sedang pergi jadi dia hanya menyaksikan siaran itu sendiri. Wah memang dasar anak ini, Firda…Firda...saking asiknya dia menyaksikan pertandingan bulutangkis, sampai-sampai lupa untuk melepas sepatu dan mengganti bajunya yang masih menempel di tubuhnya. Padahal biasanya dia paling anti jika harus memakai pakaian seragam setelah pulang sekolah maklumlah dia kan selalu ingin rapi dalam segala hal tidak hanya dalam penampilan tetapi juga dalam caranya mengerjakan sesuatu hal termasuk tugas-tugas dari gurunya di Sekolah. Terlepas dari cerita tersebut, dalam kehidupannya, Firda mencoba untuk mewujudkan harapan terbesarnya untuk bisa menjadi seorang atlet. Atlet bulutangkis tentunya. Dia pernah merasa menyesal saat dulu ketika masih bersekolah di SMP, guru olahraganya pernah menawarkan Firda untuk mengikuti pelatihan agar bakatnya dalam bermain bulutangkis bisa berkembang. Maklumlah,biarpun tak pernah absen menyaksikan idolanya bermain di setiap kejuaraan namun sejujurnya Firda bukanlah seorang pemain yang baik artinya dari segi teori dia paham akan peraturan-peraturan dalam permainan bulutangkis tapi ketika di praktikan di lapangan sering dia merasa kaku karena jarang bermain. Yah…mau bagaimana lagi kini tinggalah penyesalan dalam dirinya. Dulu Firda menolak karena pada saat itu, dia belum merasa tertarik untuk menjadi atlet namun kini dia benar-benar merasa kuat dengan niatnya untuk mewujudkan keinginannya itu. Menjadi anak bungsu dan satu-satunya wanita dia rasakan sungguh menyenangkan. Firda punya kakak-kakak yang perkasa, yang bisa melindunginya dari bahaya. Ada ayah dan ibunya yang selalu menyayangi dan memberikan apa yang dia butuhkan. Tapi tidak untuk yang satu ini. Menjadi atlet bulutangkis. Yang pertama mencak-mencak adalah ibunya, kemudian ayahnya akan dimarah-marahi hingga akhirnya ayah pun tak setuju. Kaka-kakak Firda? Tentu mereka juga setuju dengan ibunya. Kata ibu Firda , dia boleh saja sering ikut main bulutangkis, tapi tidak menjadi atlet. “Ibu mau kamu jadi dokter, nduk” katanya suatu ketika. Firda tak menolak menjadi dokter, dia sungguh ingin jadi dokter, tapi dia juga sangat mau jadi atlet. Pernah waktu itu, di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas, dia berbisik kepada ibunya, “ Ma, aku mau jadi dokter yang juara bulutangkis dunia”. Harapnya Ternyata, tidak memandang hari itu adalah hari ulang tahunnya, ibunya tetap tidak setuju. “Nduk, mana ada dokter yang sekaligus juara bulutangkis?”. “Kalau begitu, aku akan jadi yang pertama, Dr.Firda, sang juara dunia bulutangkis”. Ungkapnya tak mau kalah. Ibunya hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya yang sedikit ngawur. “Dasar kamu ini, ada-ada saja”. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hal tersebut tidak lantas membuat Firda mundur dari keinginannya itu. Bahkan di luar sepengetahuan ibunya , dia mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti privat bulutangkis rutin setiap hari minggu. Sikapnya itu benar-benar nekad. Tak terbayangkan jika ibu dan seluruh keluarganya tahu bahwa diam-diam dia mengikuti latihan itu. Firda pun tak pernah mengerti mengapa ibu dan keluarganya tak menginginkan dia untuk menjadi seorang atlet. Padahal tak ada salahnya bukan ? bukankah bakat itu harus dikembangkan siapa tahu suatu saat dia bisa menjadi seseorang yang dibanggakan keluarganya. Nasib orang siapa yang tahu? Pikirnya sambil termenung. Setelah berlatih rutin setiap minggu, akhirnya kemampuan Firda bermain bulutangkis mulai terpupuk. Tak kurang dua bulan dia berlatih akhirnya Firda sudah ditawari pelatihnya untuk mengikuti salah-satu lomba yang mewakili klubnya. Firda terpilih sebagai pemain tunggal putri. Betapa bangganya dia mendengar kabar dari sang pelatih itu. “Ya Allah terimakasih atas kesempatan ini. Aku ingin membuktikan pada keluargaku bahwa aku mampu dan aku bisa menjadi anak yang membanggakan mereka”. Tekadnya dalam hati. Firda tak akan melewatkan kesempatannya itu dan tak ingin menyesal seperti sebelumnya. Akhirnya kejuaraan itu pun dia ikuti. Biarpun saat bertanding tak ada seorang dari keluarganya yang mendukung tapi dia merasa termotivasi oleh dirinya sendiri serta dukungan dari sang pelatih yang setia mendampingi dirinya di belakang lapangan. Alhasil Firda berhasil menjuarai pertandingan pertamanya itu. Sungguh tak pernah terbayangkan jerih payahnya itu bisa terbayarkan dengan menjuarai kompetisi ini. Hal itulah yang memberanikan Firda untuk berbicara jujur pada keluarganya bahwa dia berhasil mengikuti kejuaraan bulutangkis dan menjadi sang pemenang. Dengan penjelasannnya itu, akhirnya ibu dan kelurganya pun mau mengerti dan mengizinkan dia untuk menjadi atlet bulutangkis namun Firda tetap tak ingin mengecewakan ibunya itu , saat lulus dari SMA dia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi negeri terkemuka di Jakarta jurusan fakultas kedokteran sesuai keinginan ibunya namun disamping kesibukannya itu dirinya pun tetep rajin berlatih bulutangkis demi mengasah kemampuannya bermain bulutangkis.

Firda sang jawara bulutangkis. Begitulah teman-teman firda memanggil dirinya. Biarpun bukan seorang atlet, tapi dia merasa bangga jika teman-teman nya memanggil dia dengan julukan tersebut. Entah mengapa Firda sang juara kelas itu,sangat mencintai olahraga yang satu ini. Memang dia bilang bulutangkis itu unik, tidak seperti olahraga-olahraga lainnya yang biasa menggunakan bola bundar. Tapi teman-temannya mengenal betul bahwa Firda adalah Badminton Lovers sejati. “Fir, setelah lulus SMA nanti, kamu akan melanjutkan kemana?”. Tanya Rovita teman dekatnya. “Entahlah, sejujurnya aku ingin menjadi atlet. Ingin sekali aku bersekolah di sekolah bulutangkis, tapi sepertinya ibuku tidak akan menyetujui hal itu karena ia menginginkan aku untuk menjadi dokter”. Jawab dia lemas. “Uh dasar…sang jawara bulutangkis, segala-galanya pasti bulutangkis lagi bulutangkis lagi”. Ungkap Rovita. Seolah teman dekatnya pun merasa heran, mengapa dia lebih memilih untuk menjadi atlet dibanding menjadi seorang dokter yang menjadi dambaan setiap orang. Bahkan Firda mengatakan bahwa dia akan merasa lebih bangga jika kelak dirinya benar-benar menjadi atlet daripada menjadi dokter. Sungguh teman-temannya dibuat heran atas pernyataan tersebut karena mereka tidak pernah menyangka dia bisa berfikir seperi itu. Tapi ya sudahlah, Firda memang orang yang agak keras namun teman-temannya tetap mendukung apa yang akan dipilih olehnya nanti, yang penting pilihannya itu adalah pilihan yang terbaik. Ada cerita yang unik dari sang jawara bulutangkis ini, hari itu sedang berlangsung ajang kejuaraan Djarum Indonesia Open di Jakarta. Namun sayang, Firda hanya bisa menonton idolanya, Taufik Hidayat lewat televisi. Tapi tak apa lah, dia masih merasa beruntung karena ajang super series di Indonesia ini, tetap bisa dia saksikan. Acara siarannya ditayangkan pukul 13.00 WIB. Kebetulan Firda masih berada di Sekolah Karena jam pulang sekolahnya pukul 13.00. Betapa cemasnya Firda saat jam ditangannnya menunjukan pukul 12.55. Tepatnya lima menit lagi acara yang ditunggu-tunggunya akan segera dimulai. Pada saat itu,Pak Kuncoro sedang menjelaskan soal matematika yang menurut Firda sebenarnya soal tersebut tidaklah sulit. Didalam hatinya dia merasa kesal karena tidak sabar ingin segera pulang dan berharap bel jam terakhir segera berkumandang. Apalagi dia merasa yakin akan ketinggalan menyaksikan pertandingan di partai pertama antara ganda campuran Indonesia Nova Widianto/Liliana Natsir ,melawan pemain asal Korea Selatan, Lee Yong Dae/Lee Hyo Jung, yang sudah diprediksikan olehnya bahwa pertarungan antara dua ganda yang memiliki prestasi gemilang di BWF itu akan berlangsung seru dan ketat karena keduanya sama-sama memiliki kemampuan yang kuat. Kira-kira sepuluh menit lagi waktu Firda untuk mengakhiri pelajaran Pak Kuncoro itu. Dia sudah semakin tidak tenang ditambah perjalanan dari sekolah menuju rumahnya cukup lama, memerlukan waktu sekitar 30 menit! itu pun kalau jalan tidak macet. Sungguh keadaan ini paling tidak dia senangi. Dan akhirnya berakhir sudah kekesalan Firda, jam terakhir telah usai kini saatnya Firda bergegas untuk segera sampai ke Rumah. Semua ajakan dari teman-temannya untuk bekerja kelompok dia tolak dengan alasan tidak ingin melewatkan kesempatan untuk menyaksikan atlet-atlet Indonesia berlaga di arena karpet hijau. Apalagi ajang-ajang seperti ini termasuk momen langka karena ajang bulutangkis jarang disiarkan di TV Indonesia namun berhubung kejuaraan kali ini diselenggarakan di Jakarta sehingga televisi swasta ada yang berbaik hati untuk menghilangkan rasa rindu para pecinta bulutangkis di Indonesia termasuk Firda yang selalu histeris tiap kali mendengar berita seputar olahraga yang sangat dicintainya itu. Sudah setengah perjalanan menuju rumah. Jam menunjukan pukul 13.45. kira-kira sudah telat 45 menit untuk menyaksikan kejuaraan Djarum Indonesia Open. Sudah tak sabar Firda ingin segera menontonnya, mungkin dia pikir partai pertama sudah selesai dipertandingkan. “Ya sudahlah, ku relakan saja tidak menyaksikan Kak Butet ( sapaan Liliana Natsir ). Yang penting aku tidak boleh melewatkan pertandingan selanjutnya”. Ungkap Firda menggerutu dalam hati. Setelah berada di dalam angkot selama setengah jam yang cukup membosankan baginya, akhirnya sampai juga dia di jalan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Dia mencoba untuk berlari sekencang-kencangnya. Bahkan ada tetangga yang bertanya pun dia hiraukan, bukan karena Firda tidak peduli atau tidak sopan, namun begitulah seorang Firda jikalau sedang kesal. “Kenapa Fir? lari-lari seperti itu memangnya dikejar apa?”. Tanya salah seorang tetangganya dengan penasaran. “Oh, tidak…hanya sedang terburu-buru saja”. Jelasnya sambil berlari melanjutkan perjalanan. Tetangganya pun seolah merasa heran apa yang sedang terjadi pada anak yang satu ini, tidak seperti biasanya dia berlaku seperti ini. Firda dikenal sebagai anak yang ramah di Komplek sekitar tempat dia tinggal. Setibanya di Rumah, tanpa membuang-buang waktu Firda segera mengambil remote TV nya diatas meja dan menekan tombol nomor 3. Tepatnya di channel no 3 itulah dia akan menghilangkan rasa kecewa sekaligus kesalnya karena telat menonton siaran tersebut. Begitu televisi hidup, wajah Firda yang murung kembali ceria saat melihat Taufik Hidayat, sang idola berlaga pada babak pertama. “Syukurlah, pertandingan kedua baru saja dimulai”. Ucapnya dalam hati. Akhirnya dia bisa merasa lega biarpun masaih ada segudang kekecewaan yang tertimbun didalam hatinya. Pada saat itu, kedudukan 19-17 atas Taufik Hidayat yang unggul dua angka dari Lee Chong Wei rivalnya dari Malaysia. Biarpun mereka berdua bersaing di dalam lapangan namun keduanya berteman akrab di luar itu. Sungguh itulah yang membuat Firda kagum akan sosok Taufik Hidayat. “Ayolah…tinggal dua poin lagi kamu menang Indonesiaku’. Ungkap Firda bermaksud menyemangati sang idola. “Tuntaskan saja pertandingan ini”. Jelasnya lagi. Firda merasa bahwa dirinya benar-benar terhipnotis oleh bulutangkis. Entah bagaimana awalnya dia bisa seperti itu, yang pasti semua kelurganya pun sangat menyukai olahraga ini. Biasanya tiap kali ada tayangan bulutangkis di TV, dia selalu menyaksikan bersama-sama kelurga namun sayang saat itu, keluarganya sedang pergi jadi dia hanya menyaksikan siaran itu sendiri. Wah memang dasar anak ini, Firda…Firda...saking asiknya dia menyaksikan pertandingan bulutangkis, sampai-sampai lupa untuk melepas sepatu dan mengganti bajunya yang masih menempel di tubuhnya. Padahal biasanya dia paling anti jika harus memakai pakaian seragam setelah pulang sekolah maklumlah dia kan selalu ingin rapi dalam segala hal tidak hanya dalam penampilan tetapi juga dalam caranya mengerjakan sesuatu hal termasuk tugas-tugas dari gurunya di Sekolah. Terlepas dari cerita tersebut, dalam kehidupannya, Firda mencoba untuk mewujudkan harapan terbesarnya untuk bisa menjadi seorang atlet. Atlet bulutangkis tentunya. Dia pernah merasa menyesal saat dulu ketika masih bersekolah di SMP, guru olahraganya pernah menawarkan Firda untuk mengikuti pelatihan agar bakatnya dalam bermain bulutangkis bisa berkembang. Maklumlah,biarpun tak pernah absen menyaksikan idolanya bermain di setiap kejuaraan namun sejujurnya Firda bukanlah seorang pemain yang baik artinya dari segi teori dia paham akan peraturan-peraturan dalam permainan bulutangkis tapi ketika di praktikan di lapangan sering dia merasa kaku karena jarang bermain. Yah…mau bagaimana lagi kini tinggalah penyesalan dalam dirinya. Dulu Firda menolak karena pada saat itu, dia belum merasa tertarik untuk menjadi atlet namun kini dia benar-benar merasa kuat dengan niatnya untuk mewujudkan keinginannya itu. Menjadi anak bungsu dan satu-satunya wanita dia rasakan sungguh menyenangkan. Firda punya kakak-kakak yang perkasa, yang bisa melindunginya dari bahaya. Ada ayah dan ibunya yang selalu menyayangi dan memberikan apa yang dia butuhkan. Tapi tidak untuk yang satu ini. Menjadi atlet bulutangkis. Yang pertama mencak-mencak adalah ibunya, kemudian ayahnya akan dimarah-marahi hingga akhirnya ayah pun tak setuju. Kaka-kakak Firda? Tentu mereka juga setuju dengan ibunya. Kata ibu Firda , dia boleh saja sering ikut main bulutangkis, tapi tidak menjadi atlet. “Ibu mau kamu jadi dokter, nduk” katanya suatu ketika. Firda tak menolak menjadi dokter, dia sungguh ingin jadi dokter, tapi dia juga sangat mau jadi atlet. Pernah waktu itu, di hari ulang tahunnya yang ke tujuh belas, dia berbisik kepada ibunya, “ Ma, aku mau jadi dokter yang juara bulutangkis dunia”. Harapnya Ternyata, tidak memandang hari itu adalah hari ulang tahunnya, ibunya tetap tidak setuju. “Nduk, mana ada dokter yang sekaligus juara bulutangkis?”. “Kalau begitu, aku akan jadi yang pertama, Dr.Firda, sang juara dunia bulutangkis”. Ungkapnya tak mau kalah. Ibunya hanya tersenyum mendengar ucapan anaknya yang sedikit ngawur. “Dasar kamu ini, ada-ada saja”. Sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hal tersebut tidak lantas membuat Firda mundur dari keinginannya itu. Bahkan di luar sepengetahuan ibunya , dia mencoba mendaftarkan diri untuk mengikuti privat bulutangkis rutin setiap hari minggu. Sikapnya itu benar-benar nekad. Tak terbayangkan jika ibu dan seluruh keluarganya tahu bahwa diam-diam dia mengikuti latihan itu. Firda pun tak pernah mengerti mengapa ibu dan keluarganya tak menginginkan dia untuk menjadi seorang atlet. Padahal tak ada salahnya bukan ? bukankah bakat itu harus dikembangkan siapa tahu suatu saat dia bisa menjadi seseorang yang dibanggakan keluarganya. Nasib orang siapa yang tahu? Pikirnya sambil termenung. Setelah berlatih rutin setiap minggu, akhirnya kemampuan Firda bermain bulutangkis mulai terpupuk. Tak kurang dua bulan dia berlatih akhirnya Firda sudah ditawari pelatihnya untuk mengikuti salah-satu lomba yang mewakili klubnya. Firda terpilih sebagai pemain tunggal putri. Betapa bangganya dia mendengar kabar dari sang pelatih itu. “Ya Allah terimakasih atas kesempatan ini. Aku ingin membuktikan pada keluargaku bahwa aku mampu dan aku bisa menjadi anak yang membanggakan mereka”. Tekadnya dalam hati. Firda tak akan melewatkan kesempatannya itu dan tak ingin menyesal seperti sebelumnya. Akhirnya kejuaraan itu pun dia ikuti. Biarpun saat bertanding tak ada seorang dari keluarganya yang mendukung tapi dia merasa termotivasi oleh dirinya sendiri serta dukungan dari sang pelatih yang setia mendampingi dirinya di belakang lapangan. Alhasil Firda berhasil menjuarai pertandingan pertamanya itu. Sungguh tak pernah terbayangkan jerih payahnya itu bisa terbayarkan dengan menjuarai kompetisi ini. Hal itulah yang memberanikan Firda untuk berbicara jujur pada keluarganya bahwa dia berhasil mengikuti kejuaraan bulutangkis dan menjadi sang pemenang. Dengan penjelasannnya itu, akhirnya ibu dan kelurganya pun mau mengerti dan mengizinkan dia untuk menjadi atlet bulutangkis namun Firda tetap tak ingin mengecewakan ibunya itu , saat lulus dari SMA dia melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi negeri terkemuka di Jakarta jurusan fakultas kedokteran sesuai keinginan ibunya namun disamping kesibukannya itu dirinya pun tetep rajin berlatih bulutangkis demi mengasah kemampuannya bermain bulutangkis.
Komentar
Posting Komentar